• This is Slide 1 Title

    This is slide 1 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 2 Title

    This is slide 2 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

  • This is Slide 3 Title

    This is slide 3 description. Go to Edit HTML and replace these sentences with your own words. This is a Blogger template by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com...

Minggu, 22 Mei 2016

Cara menghubungi

Line : putradwi.pengacara
WA: 082345752742
Telfon /Sms :
As : 082345752742

Advokat yang berdomisili di yogyakarta,  melayani. Konsultasi gratis dengan catatan sms terlebih dahulu,  baru kemudian diperbolehkan telfon.

Minggu, 27 Desember 2015

Hak Perdata Anak dan Isteri Jika Terjadi Perceraian termasuk dalam Harta Gono Gini

Putra Dwi Hartono. SH
(081392634846 / 083867925414)

PERTANYAAN:

Saya mau tanya tentang pembagian harta setelah perceraian.
Suami (PNS) mempunyai tanah hasil pemberian orang tua suami untuk hidup dengan istri (PNS), tanah itu kemudian ditinggali 2 0tahun, dan memiliki 3 orang anak. Kemudian rumah tanah itu dijual untuk dibelikan lagi rumah di pusat kota.
Suami dan istri pindah rumah ke pusat kota dan membeli rumah di sana dan ditinggali selama 14 tahun (sertifikat a/n Suami). Selama hidup bersama si suami dan istri juga membeli perabotan rumah tentunya. Anak pertama dan kedua saat ini sudah berkerja & berkeluarga, sedangkan anak ketiga masih awal kuliah.

Suatu waktu si suami berselingkuh dengan bawahan di kantor, setelah melalui perdebatan panjang akhirnya si suami menggugat cerai. nah yang mau saya tanyakan.

Apakah istri dan ketiga anak mendapat harta tanah? kalo dapat mendapatnya apakah dibagi rata?
Apakah harta yang ada di dalam rumah juga dibagi?(Perabotan rumah)
Anak Terakhir yang ketiga saat ini masih kuliah, apakah si suami masih wajib membesarkan anak ke-3 hingga lulus kuliah?? Karena penghasilan istri tidak mencukupi untuk biaya pendidikan anak ketiga.
JAWABAN:

Saudara penanya yang kami hormati.
Terima kasih sebelumnya telah berkunjung ke website kami.

Tanah yang diperoleh seorang suami dari pemberian orang tuanya dinamakan harta bawaan suami, bukan termasuk harta bersama. Suami memiliki hak penuh dan bebas berbuat secara hukum tanah yang dimilikinya tersebut. Hal tersebut sesuai dengan buyi pasal 35 ayat (2) UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan:
“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Jo pasal 87 KHI:

Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Dalam pasal 36 ayat (2) UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan: “Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.
Ketika tanah tersebut dijual dan dibelikan lagi rumah baru, maka nilai dari hasil penjualan tanah tersebut dihitung sebagai harta bawaan suami, sedangkan rumah baru dibeli dan perabotan rumah tangga lainnya disebut harta bersama, selama pembelian itu dilakukan ketika kedua belah pihak masih terikat perkawinan yang sah. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pasal 35 ayat (1) UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Jo KHI pasal 1 huruf f : “Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.
Berdasarkan hal tersebut maka:
1). Harta yang termasuk harta bawaan suami, jika terjadi perceraian, maka isteri dan anak-anak tidak mendapatkan harta tersebut, harta itu sepenuhnya milik suami, sedangkan harta yang termasuk harta bersama selama perkawinan yang sah, maka isteri mendapatkan separo dari harta bersama tersebut atau sesuai dengan putusan Pengadilan, sedangkan anak-anak tidak dapat, berbeda halnya dengan warisan. Sebagaimana bunyi pasal 88 KHI: Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Dasar hukum pembagian harta bersama, antara lain:
Pasal 96 ayat (1) KHI: Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.
Pasal 97 KHI: Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2). Jika perabot rumah tangga tersebut diperoleh selama perkawinan, maka disebut harta bersama dan pembagiannya seperti pada pasal 96 ayat (1) dan pasal 97 KHI tersebut. Penyelesaian harta bersama tersebut supaya berkekuatan hukum yang mengikat harus diajukan ke Pengadilan Agama.
Tentang pemeliharaan anak diatur dalam pasal 41 UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo KHI pasal 98 sd 112.
Pasal 41 UU no 1 tahun 1974 menyebutkan:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Pasal 105 KHI:
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.Berdasarkan pasal 41 huruf b UU nomor 1 tahun 1974 tersebut, ayah bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak, apabila ayah tidak mampu, maka ibu dapat ikut memikul tanggung jawab tersebut berdasarkan putusan Pengadilan.Demikian jawaban dari kami.
Atas kesalahan dan kekurangannya, kami mohon maaf
Semoga bermanfaat
Wassalam

sumber copy paste dari =

konsultasi-hukum-online.com/2014/04/pembagian-harta-gono-gini/

Pembagian Harta Bersama (Harta Gono Gini)

Putra Dwi Hartono.SH (082345752742)

Pada artikel yang lalu (Hukum Perkawinan), telah disampaikan sedikit informasi mengenai hukum perkawinan. Pada edisi kali ini, tulisan lebih dititik-beratkan pada masalah pembagian harta bersama.

Seiring banyaknya kasus perceraian di Pengadilan, salah satu permasalahan hukum yang sering terjadi adalah mengenai pembagian harta bersama atau yang biasa disebut juga harta gono gini.

Dasar hukum yang mengatur mengenai permasalahan seputar harta bersama diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan“) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI – khusus bagi yang beragama Islam).

A. Pengertian Harta Bersama

Harta bersama adalah setiap harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Harta bersama meliputi harta yang diperoleh atau dihasilkan dari usaha/pekerjaan suami dan istri ataupun hasil usaha salah seorang dari mereka. Jadi meskipun harta tersebut berasal dari hasil pekerjaan si suami, si istri tetap mempunyai hak atas harta bersama. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud, baik benda bergerak (termasuk surat-surat berharga) maupun tidak bergerak.  Sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak yaitu si suami maupun si istri berhak atas setengah bagian dari harta bersama.

B. Harta yang tidak termasuk Harta Bersama

Perlu diingat ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan yang mengatakan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dengan demikian, maka harta bawaan si suami tetap menjadi milik suami dan harta bawaan si istri tetap menjadi milik istri.

Sehingga dapat diketahui secara jelas bahwa warisan, mahar, hadiah dan hibah yang didapat selama perkawinan bukanlah harta bersama.

C. Perjanjian Perkawinan

Perjanjian perkawinan atau dalam prakteknya lazim disebut dengan perjanjian pisah harta, adalah suatu perjanjian yang diadakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.

Hal-hal yang dapat diatur dalam suatu perjanjian pisah harta adalah:

1. Ketentuan mengenai cara pembagian harta bersama termasuk prosentase pembagiannya. Dalam poin ini juga dapat dimasukkan ketentuan mengenai prosentase pembagian yang lebih besar bagi pihak istri apabila si istri dilarang bekerja, menanggung beban ganda, mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan sebagainya.
2. Ketentuan mengenai pengaturan atau penanganan urusan keuangan keluarga selama perkawinan berlangsung.
3. Ketentuan mengenai pemisahan harta selama perkawinan berlangsung, artinya harta yang diperoleh atau dihasilkan oleh suami dan istri terpisah sama sekali dan berada dibawah penguasaan masing-masing.

Perjanjian perkawinan sebaiknya dibuat dihadapan Notaris dan dicatatkan dalam lembaga pencatatan perkawinan, agar dapat mempunyai akibat hukum kepada pihak ketiga. Bagi yang beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi yang beragama non Islam dicatat di Kantor Catatan Sipil.

D. Gugatan Pembagian Harta Bersama

Bagi yang beragama Islam, gugatan pembagian harta bersama diajukan ke Pengadilan Agama. Gugatan tersebut dapat diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian maupun diajukan terpisah setelah adanya putusan cerai. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Sedangkan bagi seorang suami atau istri yang pasangannya hilang harus ditangguhkan sampai adanya putusan Pengadilan Agama.

Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, gugatan pembagian harta bersama baru dapat diajukan setelah adanya putusan perceraian dari pengadilan.

Bagi pihak yang merasa tidak puas dengan putusan harta bersama yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri, maka dapat mengajukan upaya hukum banding dalam jangka waktu 14 hari yang dihitung sejak diketahui maupun diterimanya putusan tersebut.

*******

*Artikel diatas merupakan pengetahuan hukum secara umum, dan tidak ditujukan sebagai suatu pendapat yang mengikat. Apabila anda mempunyai permasalahan hukum yang serupa, sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu guna mendapat masukan yang lebih baik.

sumber copypaste dari=

https://vandhanoe.wordpress.com/2015/03/03/hukum-perkawinan-pembagian-harta-bersama-harta-gono-gini/

Rabu, 09 Desember 2015

Pengacara cerai

Cp:
1. 082345752742

Minggu, 06 Desember 2015

PROSES PERCERAIAN NON MUSLIM

  1. Bagaimana proses perceraian untuk non muslim? 
  2. Kira2 berapa lama proses perceraian tersebut? berapa biaya nya hingga selesai?
  3. Apakah KDRT dapat digunakan untuk mengajukan perceraian? 
  4. Bagaimana pembagian hasil untuk bisnis yang sebelumnya menjadi tanggungan bersama pasangan? 
  5. Bagaimana status perkawinan untuk non-muslim?  
  6. Bagaimana untuk hak perwalian anak?

Proses perceraian antar insan non-muslim yang berbeda agama memiliki sedikit perbedaan dari sisi prosedural dibandingkan dengan proses perceraian sesama muslim. Berikut adalah penjelasan mengenai aturan perceraian tersebut, beserta informasi permasalahan yang mungkin ditimbulkannya.
Langkah-langkah perceraian bagi non muslim berdasarkan ketentuan yang berlaku:
  1. Suami atau isteri yang akan mengajukan perceraian harus memahami bahwa gugatan yang diajukan telah memenuhi syarat-syarat alasan perceraian sesuai ketentuan undang-undang;
  2. Suami atau isteri yang akan mengajukan gugatan perceraian dapat mewakili dirinya sendiri di pengadilan atau mewakilkan kepada advokat atau kuasa hukum, dan gugatan dapat dibuat sendiri, jika tidak mengetahui format gugatan dapat meminta contoh gugatan perceraian kepada kepaniteraan pengadilan, pengadilan agama dan lembaga bantuan hukum yang ada;
  3. Suami atau isteri yang akan mengajukan perceraian dapat mempersiapkan gugatan perceraian dengan alasan-alasan yang jelas secara hukum (serta dapat juga memasukan tuntutan pengasuhan anak dan harta gono gini), seperti penjelasan di bawah ini:
    • Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemakai obat terlarang, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan;
    • Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin dan alasan yang sah serta karena hal lain diluar kemampuannya;
    • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat;
    • Salah satu pihak mengalami cacat badan atau penyakit sehingga tidak bisa melakukan kewajiban sebagai suami/isteri;
    • Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa ada kemungkinan penyelesaian; dan
    • Salah satu pihak dipenjara selama lima tahun atau hukuman yang lebih berat, yang menimbulkan tidak adanya harapan untuk hidup berumah tangga lagi.
  4. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal tergugat;
  5. Bila tempat tinggal tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat tinggal tetap, gugatan diajukan ke pengadilan di daerah tempat tinggal penggugat, dan bila tergugat di luar negeri gugatan diajukan ke pengadilan di daerah tempat tinggal penggugat melalui perwakilan RI setempat;
  6. Gugatan yang telah dibuat, ditandatangani di atas materai dan dibuat rangkap lima (tiga rangkap untuk hakim, satu rangkap untuk tergugat dan satu rangkap untuk berkas di kepaniteraan);
  7. Gugatan tersebut didaftarkan di kepaniteraan perdata Pengadilan Negeri yang berkompeten;
  8. Saat mendaftarkan gugatan diharuskan membayar biaya perkara; dan
  9. Setelah Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan, maka harus segera mengurus akta cerai di kantor catatan sipil tempat perkawinan dicatat.
Lamanya proses perceraian tidak bisa diprediksi secara pasti, karena sejak panggilan untuk sidang pertama yang selambat-lambatnya dilakukan 30 (tiga puluh) hari setelah pendaftaran gugatan, kemudian dilanjutkan dengan acara dalam persidangan yang memuat pembacaan gugatan, jawaban tergugat, Replik (jawaban balasan penggugat atas jawaban tergugat), Duplik (jawaban tergugat atas replik penggugat), pembuktian (bukti tertulis ataupun bukti saksi), kesimpulan (terbukti atau tidaknya gugatan) dan yang terakhir adalah putusan atau hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan.
Besarnya biaya dalam persidangan juga memiliki jawaban yang relatif, namun dalam hal pihak penggugat tidak mampu membayar biaya perkara maka dapat bisa mengajukan permohonan prodeo atau berperkara tanpa biaya kepada ketua Pengadilan Negeri, dengan catatan harus membuktikan terlebih dahulu bahwa pihak tersebut tidak mampu membayar berdasarkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan atau kecamatan.
Dalam hal terjadinya perceraian, maka harta yang pernah didapat selama perkawinan akan menjadi harta bersama, Persoalan pembagian harta ini bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai. Dalam hal demikian maka daftar harta bersama dan bukti-bukti jika harta tersebut diperoleh selama perkawinan disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (posita), yang kemudian disebutkan dalam permintaan pembagian harta dalam berkas tuntutan (petitum). Akan tetapi jika dalam gugatan cerai tidak menyebutkan tentang pembagian harta bersama, suami atau istri harus mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah putusan perceraian dikeluarkan pengadilan. Gugatan terhadap pembagian harta bersama ini diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tergugat tinggal dan Pengadilan Negeri yang akan mensahkan tentang pembagian harta bersama tersebut. (dalam KUH Perdata ketentuan mengenai harta bersama perkawinan diatur pada Pasal 119 sampai 122 dan Pasal 128).
Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, dan perkawinan tersebut dicatatkan pada lembaga yang berkompeten, yakni catatan sipil bagi non muslim. Berdasarkan Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 ada 6 (enam) agama yang dianut di Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu, maka sepanjang perkawinan tersebut dilakukan antara calon suami dan calon isteri yang menganut agama atau kepercayaan yang sama serta dicatatkan pada kantor catatan sipil (bagi non muslim), maka perkawinan tersebut sah dimata hukum dan diakui oleh negara, namun bilamana antara calon suami dan isteri menganut agama yang berbeda dan salah satu tidak mau menundukan diri kepada agama pasangannya, maka dapat dilakukan perkawinan di luar negeri yang kemudian dicatatkan di Indonesia.
Terkait pengasuhan anak, apabila terjadi perceraian maka pengasuhan dan pemeliharaan anak dapat disepakati oleh orangtua, namun jika terjadi perselisihan ketika masing-masing pihak menuntut pengasuhan dan pemeliharaan, maka permohonan dapat diajukan bersamaan dengan gugatan cerai atau diajukan terpisah setelah ada putusan perceraian ke Pengadilan Negeri tempat termohon tinggal. Pemohon disini adalah pihak yang mengajukan permohonan hak pengasuhan dan pemeliharaan kepada Pengadilan Negeri, sedangkan termohon adalah pihak yang dituntut untuk memenuhi permohonan dari pemohon.


SUMBER COPY PASTE DARI 
http://konsultanperceraianjakarta.blogspot.co.id/2012/10/proses-perceraian-pasangan-non-muslim.html

PERSYARATAN MENGAJUKAN GUGATAN PERCERAIAN dan TATA CARA MENGAJUKAN PERCERAIAN


PERSYARATAN MENGAJUKAN GUGATAN PERCERAIAN
PERSYARATAN MENGAJUKAN GUGATAN PERCERAIAN  

Jika perceraian menjadi jalan terakhir yang harus ditempuh untuk untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga, maka pahamilah tentang semua persyaratan dan prosedur untuk mengajukan gugatan perceraian, karena hal itu akan mempermudahkan anda. Tapi sebelum kita pelajari tentang prosedur dan syarat untuk mengajukan gugatan perceraian, upayakanlah banyak hal, biar bagaimanapun usahakan semaksimal mungkin untuk menghindari perceraian, karena dampak perceraian bisa berakibat buruk untuk keluarga.



PENDAHULUAN


Sebelum membahas permasalahan tentang Gugatan sebaiknya kita harus mengerti dahulu apa yang dimaksud dengan gugatan. Menurut Pasal 118 ayat 1 HIR (Pasal 142 ayat 1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut GUGATAN. Dalam hal ini gugtan tersebut dapat diajukan baik secara tertulis (pasal 118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (Pasal 120 HIR, 144 ayat 1 Rbg).


PERSYARATAN MENGAJUKAN GUGATAN PERCERAIAN
PERSYARATAN MENGAJUKAN GUGATAN PERCERAIAN  
Gugatan juga merupakan Tuntutan hak yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah main hakim sendiri “eigenrichting” dimana bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup merupakan syarat utama untuk dapat diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna diperiksa : point d’internet, point d’action ini tidak berarti bahwa tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya pasti dikabulkan oleh pengadilan. Hal itu masih tergantung pada pembuktian. Baru kalau tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas suatu hak, pasti akan dikabulkan.


Dalam hal ini pengadilan berkewajiban untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata yang diajukan sebagaimana tercantum dalam pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memaksa, dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.


Alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan perceraian di Pengadilan Agama antara lain :

a. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak dihukum penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan.

d. Salah satu pihak bertindak kejam dan suka menganiaya berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali

g. Suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab Kabul

h. Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidakhrmonisan dalam keluarga

Hal ini telah diatur semua di dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU No.7/89)

Sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:

Memberikan ijin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami.
Ijin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang bertikai tinggal serumah.
Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh suami;
Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu.


Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat atau isteri atau kuasanya :

1. Tahap membuat surat gugatan

a. Mengajukan Gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (pasal 118 HIR, 142 Rbg Jo. Pasal 66 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989)

b. Penggugat di anjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’iyah tentang tata cara membuat surat Gugatan (Pasal 119 HIR, 143 Rbg Jo. Pasal 48 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989)

c. Surat Gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat Gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

2. Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama Mahkamah Syar’iyah:

a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989)

b. Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (pasal 73 ayat 1 Undang-Undang No. 7 tahun 1989, jo. Pasal 32 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974)

c. Bila penggugat bertempat kediaman diluar negeri, maka Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989)

d. Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat 3 UU No. 7 tahun 1989)

3. Gugatan tersebut memuat :

a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Penggugat dan Tergugat;

b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum)

c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita)

4. Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan Gugatan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan (pasal 86 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989);

5. Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat 4 HIR, 145 ayat 4 Rbg jo. Pasal 89 UU No. 7 tahun 1989) bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-Cuma (Prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 Rbg)

6. Penggugat dan tergugat menghadiri persidangan berdasarkan panggilan pengadilan agama / mahkamah syar’iyah





1. Penggugat mendaftarkan Gugatan cerai talak ke pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah

2. penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.

3. a. Tahapan Persidangan :

Ø Pada pemeriksaan sidang pertama, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami isteri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);

Ø Apabila tidak berhasil, maka Hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat 1 PERMA No. 2 tahun 2003);

Ø Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat Gugatan, Jawaban, Jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan

Ø Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat dapat mengajukan gugtan rekonpensi / gugatan balik (Pasal 132a HIR, 158 Rbg)


b. Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah atas gugatan cerai talak sebagai berikut :

· Permohonan di kabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tersebut.

· Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama / mahkamah syar’iyah tersebut.

· Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan Guagatan baru.

4. Setelah Ikrar talak diucapkan paitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat 4 UU No. 7 tahun 1989)

Demikian mengenai persyaratan juga prosedur untuk mengajukan gugatan perceraian, semoga bisa bermafaat.

INGAT SEBELUM ANDA MENGAJUKAN GUGATAN PERCERAIAN PIKIRKAN LEBIH LANJUT MENGENAI DAMPAK DARI PERCERAIAN!!!!

SUMBER COPY PASTE DARI: http://upipagow.blogspot.co.id/2013/04/persyaratan-mengajukan-gugatan.html

Prosedur Perceraian



A. Pendahuluan

Undang-undang atau peraturan yg digunakan dalam proses perceraian di pengadilan: 

1. UU No. 1 Tahun 1974, Undang-undang Perkawinan
- Mengatur tentang perceraian secara garis besar (kurang detail krn tidak membedakan cara perceraian agama Islam dan yg non-Islam).
- bagi yg non-Islam maka peraturan tata cerai-nya berpedoman pada UU No.1 Th 74 ini.
2. Kompilasi Hukum Islam
- bagi pasangan nikah yg beragama Islam, maka dlm proses cerai peraturan yg digunakan adalah Kompilasi Hukum Islam).
3. PP No. 9 Tahun 1975, Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Th. 74
- mengatur detail tentang pengadilan mana yg berwenang memproses perkara cerai
- mengatur detail tentang tatacara perceraian secara praktik.
4. UU No. 23 Tahun 1974, Penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga (KDRT)
- bagi seseorang yg mengalami kekerasan/penganiyaan dalam rumah tangganya maka kuasailah UU ini.

B.    Rukun Dan Syarat Perceraian
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur yang dimaksud. Rukun dan talak antara lain:

1.    Suami.
Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya.
Untuk sahnya talak, suami yang yang menjatuhkan talak disyaratkan :
a.    Berakal
b.    Baliq
c.    Atas kemauan sendiri

2    Istri.
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap isterinya sendiri.
Untuk sahnya talak, bagi isteri yang  ditalak disyaratkan :
a.    Isteri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami.
b.    Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah.

3    Siqhat talak.
Siqhat talak adalah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih maupun kinayah, baik berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain.

4    Qashdu(sengaja),
artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain.

Masyarakat yang ingin melakukan perceraian hendaknya memenuhi persyaratan - persyaratan sbb :
1. Suami - istri yang hendak melakukan pengajuan cerai, mendatangi Kantor Urusan Agama.
2. Suami - Istri memberikan keterangan tentang alasan mereka ingin mengajukan perceraian kepada Staff Pegawai KUA.
3. Setelah mendengar keterangan dari kedua belah pihak atas alasan mereka ingin bercerai, kemudian Staff Kua membuatkan Surat Pengantar / Surat Permohonan Cerai yang telah ditandatangani kepala KUA.
4. Kemudian Suami - Istri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama dengan membawa Surat Pengantar Cerai dari KUA.
5. Suami - Istri membayar biaya proses perceraian kepada pengadilan agama.
6. Suami - Istri menjalani proses sidang perceraian di Pengadilan Agama.
                                                        (Proses Sidang Perceraian)
7. Setelah resmi bercerai, Kedua belah pihak menandatangani berkas- berkas cerai.
8. Pengadilan Agama mengeluarkan Akta Cerai.
9. Akta Cerai Legal.