Line : putradwi.pengacara
WA: 082345752742
Telfon /Sms :
As : 082345752742
Advokat yang berdomisili di yogyakarta, melayani. Konsultasi gratis dengan catatan sms terlebih dahulu, baru kemudian diperbolehkan telfon.
PUTRA DWI HARTONO. SH CP: 082345752742 (konsultasi gratis)
Line : putradwi.pengacara
WA: 082345752742
Telfon /Sms :
As : 082345752742
Advokat yang berdomisili di yogyakarta, melayani. Konsultasi gratis dengan catatan sms terlebih dahulu, baru kemudian diperbolehkan telfon.
Putra Dwi Hartono. SH
(081392634846 / 083867925414)
PERTANYAAN:
Saya mau tanya tentang pembagian harta setelah perceraian.
Suami (PNS) mempunyai tanah hasil pemberian orang tua suami untuk hidup dengan istri (PNS), tanah itu kemudian ditinggali 2 0tahun, dan memiliki 3 orang anak. Kemudian rumah tanah itu dijual untuk dibelikan lagi rumah di pusat kota.
Suami dan istri pindah rumah ke pusat kota dan membeli rumah di sana dan ditinggali selama 14 tahun (sertifikat a/n Suami). Selama hidup bersama si suami dan istri juga membeli perabotan rumah tentunya. Anak pertama dan kedua saat ini sudah berkerja & berkeluarga, sedangkan anak ketiga masih awal kuliah.
Suatu waktu si suami berselingkuh dengan bawahan di kantor, setelah melalui perdebatan panjang akhirnya si suami menggugat cerai. nah yang mau saya tanyakan.
Apakah istri dan ketiga anak mendapat harta tanah? kalo dapat mendapatnya apakah dibagi rata?
Apakah harta yang ada di dalam rumah juga dibagi?(Perabotan rumah)
Anak Terakhir yang ketiga saat ini masih kuliah, apakah si suami masih wajib membesarkan anak ke-3 hingga lulus kuliah?? Karena penghasilan istri tidak mencukupi untuk biaya pendidikan anak ketiga.
JAWABAN:
Saudara penanya yang kami hormati.
Terima kasih sebelumnya telah berkunjung ke website kami.
Tanah yang diperoleh seorang suami dari pemberian orang tuanya dinamakan harta bawaan suami, bukan termasuk harta bersama. Suami memiliki hak penuh dan bebas berbuat secara hukum tanah yang dimilikinya tersebut. Hal tersebut sesuai dengan buyi pasal 35 ayat (2) UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan:
“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Jo pasal 87 KHI:
Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Dalam pasal 36 ayat (2) UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan: “Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.
Ketika tanah tersebut dijual dan dibelikan lagi rumah baru, maka nilai dari hasil penjualan tanah tersebut dihitung sebagai harta bawaan suami, sedangkan rumah baru dibeli dan perabotan rumah tangga lainnya disebut harta bersama, selama pembelian itu dilakukan ketika kedua belah pihak masih terikat perkawinan yang sah. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pasal 35 ayat (1) UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Jo KHI pasal 1 huruf f : “Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.
Berdasarkan hal tersebut maka:
1). Harta yang termasuk harta bawaan suami, jika terjadi perceraian, maka isteri dan anak-anak tidak mendapatkan harta tersebut, harta itu sepenuhnya milik suami, sedangkan harta yang termasuk harta bersama selama perkawinan yang sah, maka isteri mendapatkan separo dari harta bersama tersebut atau sesuai dengan putusan Pengadilan, sedangkan anak-anak tidak dapat, berbeda halnya dengan warisan. Sebagaimana bunyi pasal 88 KHI: Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Dasar hukum pembagian harta bersama, antara lain:
Pasal 96 ayat (1) KHI: Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.
Pasal 97 KHI: Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
2). Jika perabot rumah tangga tersebut diperoleh selama perkawinan, maka disebut harta bersama dan pembagiannya seperti pada pasal 96 ayat (1) dan pasal 97 KHI tersebut. Penyelesaian harta bersama tersebut supaya berkekuatan hukum yang mengikat harus diajukan ke Pengadilan Agama.
Tentang pemeliharaan anak diatur dalam pasal 41 UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo KHI pasal 98 sd 112.
Pasal 41 UU no 1 tahun 1974 menyebutkan:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Pasal 105 KHI:
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.Berdasarkan pasal 41 huruf b UU nomor 1 tahun 1974 tersebut, ayah bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak, apabila ayah tidak mampu, maka ibu dapat ikut memikul tanggung jawab tersebut berdasarkan putusan Pengadilan.Demikian jawaban dari kami.
Atas kesalahan dan kekurangannya, kami mohon maaf
Semoga bermanfaat
Wassalam
sumber copy paste dari =
konsultasi-hukum-online.com/2014/04/pembagian-harta-gono-gini/
Putra Dwi Hartono.SH (082345752742)
Pada artikel yang lalu (Hukum Perkawinan), telah disampaikan sedikit informasi mengenai hukum perkawinan. Pada edisi kali ini, tulisan lebih dititik-beratkan pada masalah pembagian harta bersama.
Seiring banyaknya kasus perceraian di Pengadilan, salah satu permasalahan hukum yang sering terjadi adalah mengenai pembagian harta bersama atau yang biasa disebut juga harta gono gini.
Dasar hukum yang mengatur mengenai permasalahan seputar harta bersama diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan“) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI – khusus bagi yang beragama Islam).
A. Pengertian Harta Bersama
Harta bersama adalah setiap harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Harta bersama meliputi harta yang diperoleh atau dihasilkan dari usaha/pekerjaan suami dan istri ataupun hasil usaha salah seorang dari mereka. Jadi meskipun harta tersebut berasal dari hasil pekerjaan si suami, si istri tetap mempunyai hak atas harta bersama. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud, baik benda bergerak (termasuk surat-surat berharga) maupun tidak bergerak. Sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak yaitu si suami maupun si istri berhak atas setengah bagian dari harta bersama.
B. Harta yang tidak termasuk Harta Bersama
Perlu diingat ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan yang mengatakan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dengan demikian, maka harta bawaan si suami tetap menjadi milik suami dan harta bawaan si istri tetap menjadi milik istri.
Sehingga dapat diketahui secara jelas bahwa warisan, mahar, hadiah dan hibah yang didapat selama perkawinan bukanlah harta bersama.
C. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan atau dalam prakteknya lazim disebut dengan perjanjian pisah harta, adalah suatu perjanjian yang diadakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.
Hal-hal yang dapat diatur dalam suatu perjanjian pisah harta adalah:
1. Ketentuan mengenai cara pembagian harta bersama termasuk prosentase pembagiannya. Dalam poin ini juga dapat dimasukkan ketentuan mengenai prosentase pembagian yang lebih besar bagi pihak istri apabila si istri dilarang bekerja, menanggung beban ganda, mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan sebagainya.
2. Ketentuan mengenai pengaturan atau penanganan urusan keuangan keluarga selama perkawinan berlangsung.
3. Ketentuan mengenai pemisahan harta selama perkawinan berlangsung, artinya harta yang diperoleh atau dihasilkan oleh suami dan istri terpisah sama sekali dan berada dibawah penguasaan masing-masing.
Perjanjian perkawinan sebaiknya dibuat dihadapan Notaris dan dicatatkan dalam lembaga pencatatan perkawinan, agar dapat mempunyai akibat hukum kepada pihak ketiga. Bagi yang beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi yang beragama non Islam dicatat di Kantor Catatan Sipil.
D. Gugatan Pembagian Harta Bersama
Bagi yang beragama Islam, gugatan pembagian harta bersama diajukan ke Pengadilan Agama. Gugatan tersebut dapat diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian maupun diajukan terpisah setelah adanya putusan cerai. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Sedangkan bagi seorang suami atau istri yang pasangannya hilang harus ditangguhkan sampai adanya putusan Pengadilan Agama.
Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, gugatan pembagian harta bersama baru dapat diajukan setelah adanya putusan perceraian dari pengadilan.
Bagi pihak yang merasa tidak puas dengan putusan harta bersama yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri, maka dapat mengajukan upaya hukum banding dalam jangka waktu 14 hari yang dihitung sejak diketahui maupun diterimanya putusan tersebut.
*******
*Artikel diatas merupakan pengetahuan hukum secara umum, dan tidak ditujukan sebagai suatu pendapat yang mengikat. Apabila anda mempunyai permasalahan hukum yang serupa, sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu guna mendapat masukan yang lebih baik.
sumber copypaste dari=
https://vandhanoe.wordpress.com/2015/03/03/hukum-perkawinan-pembagian-harta-bersama-harta-gono-gini/
Cp:
1. 082345752742
PERSYARATAN MENGAJUKAN GUGATAN PERCERAIAN |
PERSYARATAN MENGAJUKAN GUGATAN PERCERAIAN |